Apa yang dikhawatirkan oleh Wali Santri dari Anaknya yang Nyantri?
Artikel ini ingin mengungkap beberapa kekhawatiran orangtua (wali santri) dari anaknya yang sedang “mondok”. Cara pandang setiap orang terhadap suatu fenomena bergantung pada banyak faktor. Termasuk cara pandang wali santri terhadap kehidupan dan pendidikan anaknya di pesantren.
Cara pandang wali santri terhadap anaknya yang sedang mondok setidaknya terbagi kepada beberapa kategori: masa bodoh, pasrah bongkokan, over thinking, dan overlapping, serta Nastiti. Kategori pertama, Masa bodoh, artinya perilaku tidak mau tahu tentang pendidikan anaknya di pesantren. Bahkan berlebihan dalam ketidakpeduliannya tentang anaknya di pesantren, sehingga (kadang-kadang) tidak atau kurang tanggung jawab atas kewajiban wali santri atas anaknya yang sedang mondok.
Kategori kedua, pasrah bongkokan (Jawa) artinya secara sadar dan rasional mempercayakan pendidikan anak kepada Kyai (pesantren), disertai tanggung jawab kolaboratif, partisipatif dan kolegial oleh para wali santri. Kelemahannya adalah secara sadar terlalu percaya sehingga mereka lupa pada potensi-potensi negatif yang tidak dapat diprediksi.
Kategori ketiga, yaitu over thinking, artinya cara pandang berlebihan dan melebih-lebihkan ekspektasi dan kekhawatiran atas sesuatu pada anaknya yang sedang mondok namun disertai ketidakberdayaan mereka untuk berbuat lebih banyak atas anaknya.
Kategori keempat, Overlapping, artinya terlalu banyak upaya (baik sadar atau tidak sadar) oleh wali santri, untuk mempengaruhi cara berpikir anaknya atas pendidikan pesantren, bahkan mengarah pada upaya mempengaruhi pesantren untuk melakukan apa yang mereka inginkan.
Kategori kelima, Nastiti, Kata Nastiti menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah teliti, cermat, dan hati-hati. Dalam hal ini secara sadar para wali tetap menjaga aspek-aspek yang menjadi hak dan kewajiban mereka sebagai wali santri dengan tidak mengorbankan kepentingan pondok, apalagi hingga menciderai nilai-nilai kultural dan visi, misi, tujuan pendidikan pesantren.
Masing-masing dari keempat yang pertama (masa bodoh, pasrah bongkokan, over thinking, dan overlapping) adalah mindset yang tidak baik. Sementara mindset yang kelima (nastiti) adalah yang disarankan. Hakekatnya, pendidikan anak adalah tanggung jawab penuh orang tua (wali santri). Namun, harus diakui bahwa orang tua (wali santri) dalam beberapa hal memiliki keterbatasan dalam mendidik anak-anaknya. Akhirnya mereka menyerahkan pendidikan anak-anak kepada sekolah, madrasah dan pesantren. Namun, pengalaman oleh beberapa kalangan santri yang akhirnya ada yang menjadi “korban” mindset itu sendiri.
Semua pihak, termasuk wali santri, harus sadar bahwa pendidikan adalah yang utama dan prioritas, di samping juga harus memahami dan menyadari kelemahan dirinya. Pondok pesantren sejatinya bukan lagi pendidikan alternatif. Saat ini, dan sejatinya sejak awal, pendidikan pesantren adalah prioritas utama. Karena semua pihak harus sadar bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan tertua dalam sejarah pendidikan di Indonesia. Berikut ini akan saya paparkan bagaimana seharusnya sikap (mindset) wali santri agar cita-cita mereka dalam mendidik putra-putrinya tercapai dengan baik.
K.H. Hasan Abdullah Sahal (Pimpinan Pondok Modern Gontor Ponorogo) pernah menyampaikan pada satu kesempatan tentang bagaimana seharusnya para wali santri bersikap tentang memondokkan anaknya di pesantren. Menurut beliau, ada lima tips, yaitu TITIP. Istilah TITIP adalah akronim dari Tega, Ikhlas, Tawakkal, Ikhtiar, dan Percaya.
TEGA (Ridho)
Orang tua (wali santri) harus tega atau ridho anaknya dididik di pesantren. Dalam tradisi pesantren telah berlaku adagium “Ngesot ing Ngajengan Kyai”. Ngesot adalah berjalan sambil duduk mirip seorang hamba (abdi) di depan sang raja. Kyai ibarat sang raja. Ini adalah simbol bahwa santri yang belajar ilmu (nyecep ilmu) kepada kyai harus ridho lahir batin dididik. Jadi dalam ridho ini bukan saja wali santri yang tega (ridho) menyerahkan anaknya dididik kyai, namun si santri juga harus tega meninggalkan segala rupa kesenangan di rumah dan rela berpisah dengan keluarga yang dicintainya untuk menuntut ilmu kepada kyai.
Filosofi ini dicontohkan oleh Siti Hajar (istri Nabi Ibrahim a.s.), yang tega (ridho) anaknya disembelih untuk memenuhi perintah Allah SWT. Jadi dalam ridho ini dikandung maksud bahwa wali santri itu, meskipun secara lahir menyerahkan anaknya kepada kyai, namun secara spiritual, mereka menyerahkan anaknya kepada Allah dengan niat menjalankan perintah Allah dalam mendidik anaknya. Kesadaran spiritual ini akan mengkoneksikan niat baik orang tua, niat baik santri, dan niat tulus Kyai sebagai pendidik untuk bersama-sama menggapai cita-cita yang diimpikan. Resonansi antara ketiga belah pihak inilah yang membangkitkan energi rohani yang tak terbatas.
“Pendidikan adalah salah satu instrumen utama perubahan sosial dan itu adalah kekuatan yang membawa perubahan dalam pandangan tradisional masyarakat, dan mengembangkan wawasan untuk menilai hal-hal dalam konteks mereka. Diasumsikan bahwa semakin besar persentase penduduk terdidik maka semakin besar laju pembangunan. Seperti yang kita katakan bahwa Pendidikan anak di pesantren seperti mendidik kaum muslimin di seluruh belahan dunia”.
Pesantren dinilai sebagai medan pendidikan dan perjuangan. Di Pesantren para santri didik oleh para kyai (guru) yang tulus. Para Kyai (guru) adalah orang-orang yang mukhlis (ikhlas) karena tidak sedikit yang rela “digaji” tidak layak, bahkan ada yang tidak digaji. Namun upaya mereka untuk mendidik santri tidak pernah kendor. Pesantren sebagai ladang perjuangan, para kyai berjuang mati-matian, sepanjang waktu selama satu kali dua puluh empat jam mendidik santri. Santri dididik untuk berjuang dan memperjuangkan al-haq. Teladan Nabi Ibrahim dapat menjadi inspirasi semua pihak, bahwa beliau rela meninggalkan anak dan istrinya di gurun tandus, seraya memohon kepada Allah:
“Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman … (Ibrahim [14]: 37)
IKHLAS
Keikhlasan wali santri dan santri adalah instrumen kunci untuk meraih keberhasilan. Ikhlas dididik, ditempa, dibina, dilatih, dibentuk, diarahkan, dibimbing, dikurangi jam tidurnya, ditambah jam belajar dan ibadahnya. Apakah ini mungkin dilakukan oleh wali santri di rumah? Jawabnya tentu “nyaris tidak mungkin”. Keikhlasan orang tua dan Kyai (guru) akan membentuk karakter kuat (tangguh) dan tahan banting pada jiwa para santri. Memiliki tipe kepribadian tahan banting berarti memiliki kumpulan sifat yang membuat seseorang lebih mampu bertahan dan pulih dari keterpurukan, kapanpun dan dimanapun.
Mungkin kehidupan santri di pesantren itu tak senyaman di rumah. Pondok itu bukan Funduk (hotel), yang tinggal pesan, lalu datang. Semua hal harus dilakukan oleh santri secara mandiri. Guru/ustadz di pesantren itu tidak digaji/dibayar. Mereka ikhlas mendidik dan mengajar tanpa menunggu bayar.
Tawakkal
Kewajiban orang tua/wali santri setelah menetapkan hati melalui tega dan ikhlas adalah tawakkal. Berdoalah kepada Allah agar anaknya yang sedang mondok diberi kekuatan lahir batin, kesehatan, keteguhan jiwa, dan keikhlasan juga dalam menuntut ilmu. Ilmu itu bukan saja aspek lahir, namun juga aspek batin (ruhani). Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang dicari dengan keikhlasan, dan berupaya untuk menyebarkannya dengan ikhlas.
Doa dan tawakkal adalah senjata utama wali santri, karena pesantren bukan “tukang sulap”. Kekuatan doa dan tawakkal akan merefleksikan “energi” dari Allah SWT. “Dan Rabbmu berfirman: “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina“. (QS. Ghafir: 60).
“Dan Rabbmu berfirman: “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina“. (QS. Ghafir: 60)
Kata tawakal, atau tawakkul, artinya mewakilkan atau menyerahkan urusan kepada Allah. Perilaku muslim melibatkan dan menempatkan iman sebagai pondasi amal perbuatan (hanya) kepada Allah terlepas dari hasil tugas atau tekanan dari skenario tertentu.
Mengutip dari buku “Cari Saja Allah karya Ahmad Kamil Arsyad (2020: 85), makna lafal “faidza azamta fatawakkal alallah” adalah apabila manusia telah membulatkan tekad untuk menjalankan sebuah urusan, maka serahkan urusan tersebut kepada Allah SWT.
Ikhtiar
Setelah tega (ridho), ikhlas, tawakkal, maka konsekuensi berikutnya adalah “ikhtiar”. Ikhtiar di sini lebih kepada konsekuensi logis tanggung jawab pembiayaan oleh orang tua (wali santri). Biaya pendidikan pada banyak pesantren sangat bervariatif, namun semua itu sudah melalui pertimbangan pengambilan kebijakan pihak yayasan dengan Kyai (pimpinan) pesantren.
Menurut Cohn, dalam Marjuni (2020) biaya pendidikan dapat dikategorikan sebagai berikut: a. Biaya langsung (direct cost), yaitu biaya yang dikeluarkan secara langsung untuk membiayai penyelenggaraan pengajaran, operasional pendidikan, pengembangan keterampilan (skill), termasuk gaji guru, pegawai non edukatif, buku-buku pelajaran, biaya sarana dan prasarana serta perlengkapan lainnya.
Hal ini berpengaruh pada hasil pendidikan berupa nilai pengorbanan untuk penyelenggaraan kegiatan-kegiatan tersebut. b. Biaya tak langsung (indirect cost), yaitu meliputi hilangnya kesempatan untuk hal-hal di luar kurikulum pondok pesantren. Santri mungkin berkesempatan untuk mengikuti kegiatan semisal kursus dan atau latihan yang kebetulan tidak diperoleh di pondok. Sementara pihak pondok bekerjasama dengan berbagai pihak untuk memenuhi kebutuhan santri. Bisa juga berupa keuntungan (benefit) yang hilang (foregone-earning) dalam bentuk biaya kesempatan yang hilang (opportunity cost) yang dikorbankan oleh siswa selama belajar di pesantren. Biaya-biaya tersebut harus dipertimbangkan dan menjadi tanggung jawab sepenuhnya wali santri.
Percaya
Percaya kepada Kyai dan semua pembantunya, percayakan pendidikan kepada Pondok Pesantren dimana Putra da Putri bapak/ibu mondok. Jadi, jangan salah paham, jangan salah sikap, jangan salah persepsi. Sangat mungkin suatu saat anaknya diminta untuk mengangkut sampah, tidak berarti anaknya dijadikan budak oleh pondok, tetapi itu adalah pelajaran agar santri memiliki jiwa tanggung jawab atas kebersihan lingkungan pondok.
Menurut KH. Hasan Abdullah Sahal: “Ketahuilah bapak/ibu… putra-putrimu pergi ke pesantren untuk kembali sebagai anak berbakti. Jangan beratkan langkah mereka dengan kesedihanmu. Ikhlaskan, semoga Allah rahmati jalan mereka”.
Artinya: Ziarahilah kadang-kadang saja, nicaya akan menambah rasa cinta. (HR.Ibnu Hibban dalam Shahihnya (no.620), pentahqiq al-Adabusy Syar’iyyah mengatakan : Sanad-sanadnya shahih sesuai dengan syarat Muslim. Lihat Hasyiyah al-Adab (III/541))
Demikianlah bagaimana seharusnya para wali santri bersikap dalam menyerahkan putra dan putrinya di pesantren.
Semoga ikhtiar para wali santri untuk membentuk karakter dan mentransfer ilmu pengetahuan dan teknologi di pesantren tetap dalam ridho Allah SWT. Aamiin.
Semoga bermanfaat,,,!!!!